Type Here to Get Search Results !

Agama Jawa sebagai Bagian dari INDONESIA KU (KEJAWEN)

 Agama Jawa sebagai Bagian dari INDONESIA KU

 




Secara umum, di Indonesia memiliki 6 agama yang saat ini telah diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Lantas bagaimana dengan Agama Jawa? Ketika mendengar tentang agama Jawa terkadang muncul perdebatan dan pertanyaan-pertanyaan yang cukup sulit ditemukan jawabannya, seperti apakah benar agama Jawa itu benar-benar ada? Agama Jawa hanya ada di zaman dulu atau masih ada hingga sekarang? Banyak yang tidak tahu menahu tentang agama Jawa, banyak juga yang beranggapan bahwa agama Jawa itu tidak layak disebut sebagai agama.

Meyakinkan orang tidaklah mudah, apalagi ketika mempersoalkan masalah agama. Perdebatan tajam sering muncul dalam pemaknaan agama yang dianggap sama dengan kepercayaan. Ada yang menganggap agama adalah “putihan” dan kepercayaan disebut “abangan”. Agama jelas Tuhannya, sedangkan kepercayaan dianggap kabur. Agama di Jawa adalah produk kekuasaan masa lalu. Sedangkan kepercayaan adalah produk nurani Jawa. Kepercayaan lahir dari penghayatan mendalam terhadap ada dan tiada.

Agama Jawa sebetulnya ada sejak zaman nenek moyang orang Jawa. Di dalam keseharian agama Jawa disebut juga dengan “Kejawen”. Ada beberapa para ahli yang berpendapat, diantaranya, Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa leluhur orang Jawa  berasal dari Timur Tengah yang mengembara dengan cara berdagang sampai ke Jawa. Kedua: leluhur Jawa berasal dari dewa, yaitu Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas dasar itulah mayoritas komunitas kejawen memiliki karakteristik untuk mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai keturunan Dewa. Ketiga: berasal dari seorang pengembara yang gemar keliling dunia seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis antara Hindu Jawa dan Islam Jawa. Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa sementara Islam Jawa berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan Tradisi Cina.

Ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang bersifat transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan dinamisme. Sedangkan animisme dan dinamisme sendiri ada sejak berabad-abad yang lalu. Itu membuktikan bahwa Agama Jawa atau kejawen ada sejak zaman prasejarah, namun dalam perkembangannya hingga saat ini kepercayaan animisme dan dinamisme lebih dimodifikasi dengan Islam, Hindu, dan agama-agama lain. Menurut Masroer sebelum Hinduisme dan Budhisme masuk ke Jawa, orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistik dan dinamistik. Simuh juga mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan tradisi animistik dan dinamistik sebagai akar religiusitas, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Lebih dari itu Simuh mengatakan bahwa religi animisme dan dinamisme yang menjadi akar budaya asli masyarakat Jawa cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.

Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (Dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan) dan membentuk insan seiya sekata dengan Tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (Bersatunya Hamba dan Tuhan). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:

  1. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
  2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
  3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
  4. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)

Hal ini tentu berbeda dengan kaum abangan (kepercayaan), kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap Tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya.

Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama dimana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).

            Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.

            Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.

Dalam agama Jawa atau Kejawen ada hari-hari penting sama seperti agama-agama lainnya. Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai Kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya. Berikut adalah hari-hari penting dalam Kejawen (Kejawen Islam/Muslim) :

  1. Suran (Tahun Baru 1 Sura).
  2. Sepasaran (upacara kelahiran) dan Aqiqah bagi muslim.
  3. Mantennan (Pernikahan dengan segala upacaranya).
  4. Mangkat (Upacara Kematian) - Mengirim Do'a (Kanduri, Wirid, Ngaji) 7 Hari, 40 Hari, 100 Hari, 1000 Hari, 3000 Hari.
  5. Megeng Pasa - Tanggal 28 dan 29 Bulan Ruwah (Bulan Arwah) yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu (meninggal dunia), juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi.
  6. Megeng Sawal - Tanggal 29 dan 30 Bulan Pasa Yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi bagi yang tidak ada kesempatan pada Megeng Pasa.
  7. Riadi Kupat (Hari Raya Kupat) - Tanggal 3, 4 dan 5 Bulan Sawal (Bagi orang tua yang ditinggalkan anaknya sebelum menikah).

Karena filsafat kejawen juga beragama, hari besar agama juga merupakan hari penting kejawen. Berikut ini adalah beberapa hari penting tambahan untuk kejawen muslim :

  1. Hari Raya Idul Fitri
  2. Hari Raya Idul Adha.
  3. Hari Raya Jum'at.
  4. Muludan (Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, S.A.W.)
  5. Sekaten (Syahadatain)

Para penganut kejawen sangat menyukai berpuasa dalam ajaran islam karena dianggap sama dengan ajaran leluhurnya selain juga tafakur yang dianggap sama dengan bertapa.

  1. Pasa Weton - berpuasa pada hari kelahiranya sesuai penanggalan jawa.
  2. Pasa Sekeman - Puasa pada hari senin dan kamis.
  3. Pasa Wulan - Puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan Kalender Jawa.
  4. Pasa Dawud - Puasa selang-seling, sehari puasa-sehari tidak.
  5. Pasa Ruwah - Puasa pada hari-hari bulan Ruwah (Bulan Arwah).
  6. Pasa Sawal - Puasa enam hari pada bulan Sawal kecuali tanggal 1 Sawal.
  7. Pasa Apit Kayu - Puasa 10 hari pertama pada bulan ke-12 kalender jawa.
  8. Pasa Sura - Puasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Sura.

Selain puasa diatas kejawen juga memiliki puasa biasanya untuk menggambarkan kezuhudan (kesungguhan) dalam mencapai keinginan, jenis puasa tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Pasa Mutih - puasa ini dilakukan dengan jalan hanya boleh makan nasi putih, tanpa garam dan lauk pauk atau makanan kecil dan lain-lain, serta minumnya juga air putih.
  2. Pasa Patigeni - puasa tidak boleh makan, minum dan tidur serta hanya boleh dikamar saja tanpa disinari cahaya lampu.
  3. Pasa Ngebleng - puasa tidak boleh makan dan minum, tidak boleh keluar kamar, boleh keluar sekedar tetapi sekedar buang hajat dan boleh tidur tetapi sebentar saja.
  4. Pasa Ngalong - puasa tidak makan dan minum tetapi boleh tidur sebentar saja dan boleh pergi.
  5. Pasa Ngrowot - puasa yang tidak boleh makan nasi dan hanya boleh makan buah-buahan atau sayur-sayuran saja.

Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis sebagai berikut :

  • Kakawin (Sastra Kuna) - merupakan kitab sastra metrum kuna (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno
  • Babad (Sejarah-Sejarah) - merupakan kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno serta Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
  • Serat (Sastra Baru) - merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
  • Suluk (Jalan Sepiritual) - merupakan kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
  • Kidungan (Do'a-Do'a) - sekumpulan do'a-do'a atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya do'a lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
  • Primbon (Ramalan-Ramalan) - berupa kitab untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
  • Piwulang Kautaman (Ajaran Utama) - berupa kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa

Naskah-naskah diatas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama (lain) tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar:

  • Padepokan Cakrakembang
  • Sumarah
  • Budi Dharma
  • Maneges

Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon yang ingin mengembalikan agama Orang Jawa kembali ke Agama Budha yang dianggap sebagai agama asli menurut Sabdapalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar yang merupakan ajaran/Aliran Islam yang telah ditetapkan sesat oleh Wali Sanga.

Sumber :

1.      Suwardi E.2015. Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen. Yogyakarta: Penerbit Narasi-Lembu Jawa

2.  

http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mencermati-asal-usul-kepercayaan-religi-dan-agama-jawa-kuna
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.