NASKAH BERBAHASA INDONESIA : TEAM KREATIF LUMBUNG ARTEMA
“ABDI DALEM”
Ide cerita : Tim Kreatif Lumbung Artema
Skenario : Ahmad Robitul Wafa
Langit
sore itu terlihat mendung, tampaknya akan turun hujan, namun aku masih terus
berjalan menyusuri jalan yang aku lewati untuk mencari sesuatu yang aku cari.
“ketika
saya memutuskan untuk menjadi abdi dalem, bukan gaji atau upah yang saya
harapkan namun ketentraman/kemuliaan batin dalam kehidupan dan semata-mata
hanya mengharapkan berkah dari Yang Maha Kuasa, abdi dalem adalah seorang abdi
pelestari budaya”,
kalimat ini
terucap dari bibir seorang abdi dalem yang aku temui sedang duduk-duduk santai
di Kraton Ngayogyakarto.
Synopsis
Mengangkat
sebuah kisah nyata seorang abdi dalem kraton ngayogyakarta akan kisah
perjuangan dalam kehidupan keluarganya. Cerita ini berkisah dalam satu keluarga
abdi dalem, berawal hanya dengan upah per-bulan 5 ribu inilah sebuah perjalanan
seorang abdi dalem dimulai dengan berbagai permasalahan seperti masalah
ekonomi. Namun bagi seorang abdi dalem tidak menjadi masalah karena abdi dalem
bukan merupakan suatu pekerjaan tapi pengabdian kepada rajanya. Sikap seorang
bapak inilah (abdi dalem) akhirnya ditentang oleh anaknya sendiri, karena
menilai bahwa bangsa sekarang tanpa duit tidak akan bisa maju.
Singkat
isi cerita naskah ini adalah seorang bapak (abdi dalem) yang menginginkan
anaknya meneruskan pengabdiaannya sebagai abdi dalem di kraton ngayogyakarta
namun anaknya tidak ingin meneruskan pengabdiaan bapaknya karena anaknya
menilai abdi dalem bukan suatu pekerjaan melainkan budak rajanya. Alasan lain,
anaknya sudah merasa nyaman dengan pekerjaan yang sekarang dijalani.
Cerita ini tidak menemukan ending atau akhir kisah karena bapaknya hanya menunggu waktu suatu saat anaknya pasti meneruskan pengabdiaannya dan anaknya hanya hanya bisa berpikir terus sementara ibunya hanya bisa menjadi tameng kemarahan suaminya kepada anaknya.
Dipagi hari, seorang abdi dalem sedang bersiap-siap akan berangkat menuju kraton. Dan istrinya sedang bersih-bersih di ruang tamu yang kemudian menyiapkan secangkir kopi dan sepiring makanan buat suaminya.
Bapak : (diteras baru bersih-bersih/bergumam atau apalah)
Ibu : (keluar dari dalam lalu menuju teras) kelihatannya bapak sedang ngomong sendirian, memangnya ada apa pak?
Bapak : (menoleh dan masih asyik dengan aktifitasnya) begini bu, bapak itu berpikir sudah waktunya atun meneruskan tugas bapak di kraton.
Ibu : (menyahut) sebagai abdi dalem!.
Bapak : (menyahut) iya bu, tapi bapak itu masih ragu dengan anak kita, apa atun itu mau meneruskan pengabdian bapak di kraton ngayogyakarta sebagai abdi dalem?
Ibu : ibu juga ndak tahu pak soalnya anak jaman sekarang sudah ndak mau lagi mengenal budayanya.
Bapak : ya sudah bu, semoga saja atun mau.
Ibu : semoga saja pak..(suasana sedikit berubah) ini pak, bajunya sudah siap.
Bapak : (menyahut) ibu taruh dalam dulu.
Ibu : (meninggalkan bapak masuk kerumah)
Bapak : (lalu masuk ke rumah, aktivitas)
(bapak sedang asyik merokok lalu ibu keluar dari dalam membawakan minum bapak)
Ibu : pak, apa ndak ada pilihan lain untuk atun, selain menjadi abdi dalem?.
Bapak : (menyahut) bu, bukan ada atau tidaknya pilihan, tapi abdi dalem bagi keluarga kita itu merupakan adat turun temurun yang harus dijaga.
Ibu : benar pak, tapi ibu pikir, atun sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya sekarang sebagai penjual es dawet.
Bapak : tapi masalahnya bu, moral generasi anak muda saat ini perlu diperhatikan biar masa depannya menjadi lebih baik!.
Ibu : lhoo, bapak itu lupa kalau atun pernah sekolah dan pastinya atun juga belajar tentang moral itu pak?!.
Bapak : iya, tapi coba ibu lihat sendiri anak-anak jaman sekarang, meskipun mereka pernah merasakan duduk dibangku sekolah tapi kiblat moralnya bukan pada budayanya sendiri melainkan budaya barat!..(hening sejenak)
Ibu : (hati-hati dalam bicaranya) menurut bapak, apa atun itu sudah bermoral budaya barat?.
Bapak : (menyahut) bukan begitu bu maksud bapak, kalau atun nanti mau meneruskkan pengabdian bapak sebagai abdi dalem di kraton, atun tidak akan mudah terpengaruh dengan budaya barat!.
Ibu : (suasana sedikit berubah) iya pak, ibu sebenarnya juga merasa khawatir kalau nanti atun malah lupa dengan budayanya sendiri.
Bapak : bapak itu cuman tidak ingin tatanan moral kehidupan masyarakat timur luntur karena pengaruh moral budaya barat..(mengalihkan bicaranya) oiya, ibu sudah bilang sama atun tentang keinginan bapak?.
Ibu : (menyahut) sudah pak, tapi ibu ndak tahu, apa dia mau..atun cuman bilang, nanti atun pikirkan.
Bapak : yasudah bu, sekarang atun dimana?.
Ibu : itu atun masih didalam.
Bapak : tolong panggilkan dia bu, biar bapak yang ngomong lagi.
Ibu : (ibu beranjak masuk kedalam memanggil atun) nduk…sini nduk, dipanggil bapakmu ini lho..ada yang mau dibicarakan sama bapakmu.
(ibu dan atun keluar)
Bapak : Bagaimana nduk?, apa sudah kamu pikirkan..bapak dan ibu itu berharap kamu bisa meneruskan pengabdian bapak di kraton sebagai abdi dalem
Atun : sudah atun pikirkan pak..(berpikir sejenak) atun tidak ingin meneruskan pengabdian bapak di kraton..atun berpikir kalau kita sekarang sudah hidup di jaman budaya colonial, dijaman yang semuanya serba maju..
Ibu : (menyahut berharap) nduk, ibu sama bapak itu kepengen kamu meneruskan pengabdian bapak di kraton.
Atun : (menyahut) tapi bu, abdi dalem itu hanya budak kekuasaan rajanya, yang kerjanya cuman disuruh-suruh kesana kemari, dan jaman sekarang bukan budak yang dibutuhkan tapi ilmuwan atau pakar-pakar pintar yang mandiri.
Ibu : (menyahut) hush..jangan ngomong seperti itu..ndak ilok, nanti kamu bisa kualat lho nduk.
Bapak : nduk..bapak kasih tau, kalau abdi dalem itu bukan budak rajanya, raja sebagai pemimpin tidak pernah melihat abdi dalem sebagai hubungan atasan dan bawahan, tapi abdi dalem itu sebagai seseorang yang mengabdi pada budayanya.
Atun : (menyahut) mengabdi budaya seperti apa pak kalau tidak bisa membawa bangsa kita maju, justru ilmuwanlah atau cendikiawan yang kita butuhkan saat ini.
Bapak : (sedikit ketawa) ooalah nduk..jangankan ilmuwan atau cendikiawan seperti yang kamu bilang, seribu sarjana di luar sana masih ada yang mau mengabdikan diri sebagai abdi dalem..dan kamu itu juga harus sadar nduk, yang memberikan kemerdekaan pada jaman perang itu salah satunya yaa abdi dalem, abdi dalem telah mengorbakan nyawanya buat kemajuan bangsa kita..apa kamu masih ragu dengan namanya abdi dalem?.
Atun : iya pak, aku tahu itu. Tapi kalau bapak masih menginginkan aku menjadi abdi dalem, mau makan apa anak-anak ku nanti hanya dengan uang lima ribu setiap bulannya?..aku tidak bisa hidup dengan cara seperti itu pak,,
Bapak : (terlihat sabar) nduk..abdi dalem itu juga punya keluarga seperti kita ini, walaupun upah yang diterima abdi dalem itu kecil bukan berarti abdi dalem tidak bisa bertahan hidup, buktinya sampai saat ini kita masih bisa hidup dan kamu atun, bisa sekolah sampai lulus walaupun kita hidup dengan uang lima ribu per-bulan, dan bapak yakin ada nilai-nilai suci yang diyakini dalam kehidupan abdi dalem sehingga membawa rasa ayem.
Atun : (menyahut) tapi pak,,sampai kapan pun abdi dalem itu hanya sebagai pesuruh dan abdi dalem tidak pantas disebut pekerjaan.
Bapak : apa kamu belum paham juga nduk? Abdi dalem itu bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan kemewahan, tapi pengabdian jiwa dan raga. (sabar) nduk..mereka yang mau menjadi abdi dalem itu selalu menganggap apa yang dilakukan adalah wujud pengabdian kepada sultan dan kraton jogja, bukan uang yang mereka cari, tapi kemuliaan batin dan keberkahan dalam kehidupannya.
Atun : Pak, aku juga akan bisa mulia dengan pekerjaanku sekarang ini tanpa menjadi abdi dalem.
Bapak : (menyahut) Tapi kemuliaanmu tidaklah dapat menentramkan batinmu. Sebab, tidak kamu dapatkan keberkahan didalamnya.
Atun : AH……,aku tidak mengerti jalan pikiran kuno bapak….(sambil berangkat keluar rumah).
Bapak : Dasar otak colonial ….(sentak bapaknya sambil mematikan rokok dan kemudian memanggil ibu).
Bapak : Bu…..(ibu keluar) bapak berangkat dulu . . .
Ibu : Iya pak…..hati-hati di jalan.
Di saat kehidupan membutuhkan kemewahan
Kala kekayaan dan kemegahan seolah menjadi Tuhan
Apa yang membuatmu terdiam kaku dalam kesederhanaan
Jalan apa yang kau cari sehingga kau memilih tetap duduk bersila di antara lutut para penguasa
Mungkin ketenangan dan ketentraman batinlah yang terus membuatmu tersenyum
Namun itulah yang ada dalam batok kepalaku….(di baca Narator…)
Isi cerita maupun akhir cerita abdi dalem ini masih bisa dikembangkan sendiri sesuai sutradara atau kelompok yang menggarap cerita ini. 10 mei 2009
NASKAH BERBAHASA JAWA : TEAM KREATIF LUMBUNG ARTEMA
“ABDI
DALEM”
versi
bahasa jawa
Skenario
: Ahmad Robitul Wafa
Ide
Cerita : Lumbung Artema
Sinopsis
Dadi Abdi Dalem Kraton sing gadhang-gadhang wong akeh awit
dianggep bakal isa nentremke ati, kanyata ora dirasakke kabeh uwong. Babagan
upah sing gedhene mung Rp.5000,- dadi pemicu gendrane keluarga Abdi Dalem.
Gonjang-ganjing kaluarga Abdi Dalem mau sansaya gayeng
rikala anak sing digadhang-gadhang bakal dadi penerus ‘pakaryan luhur’ awujud
Abdi Dalem kuwi nolak wegah neruske apa sing wis dilakoni Bapakne.
Si Anak nduweni pamikiran, menawa apa sing dilakoni Bapakne
sak suwene iki ora isa disebut pakaryan. Miturut Si Anak, pakaryan awujud Abdi
Dalem sing dikaloni Bapakne kuwi ora bedha karo budak raja. Si Anak tetep kukuh
milih nekuni pakaryan sing wis dilakoni dewe, apa meneh upah sing ditampa cukup
murwat lang logis menawa dinalar kanti pikiran kang waras.
Bedha panemu antaraning Anak lan bapak iki ora ana pucuk
bongkote. Bapak tetep nduweni keyakinan menawa dadi Abdi Dalem Kraton ing jaman
saiki ora bedha karo opo sing dilakoni para prajurit perang jaman penjajahan
mbiyen. Abdi Dalem ana ing jaman modern lan jaman global iki miturut pikirane
Bapak, pantes nggembol sebutan “Pahlawan”
Banjur kepiye pungkasane crita iki?,. kabeh dipasrahke ana
ing ati lan pikirane para pamirsa.
“Natkala
niatku wis gembleng dadi abdi dalem, dudu bandha dudu bea kang tak
gadhang-gadhang, nanging tentrem ing kamulyan bathin cumondok ing panguripan
lan mung nyungsung berkah ing Gusti Kang Maha Kuasa. Abdi Dalem minangka pawongan
kang kasdu marang lestarining budaya”
Bapak :
(neng ngarep omah bapak ngelapi pit lan ngomong dewe)
Ibu :
(ibu metu) Pak, kadose kok bapak lagi ngendikan piyambakan? Enten nopo to pak?
Bapak :
Ngene lho bu, bapak kie miker neg wes wayahe bejo neruske bapak ngabdi neng
kraton.
Ibu :
Dadi abdi dalem pak?!
Bapak :
iyo, nanhing bapak miker, opo yo bejo kie gelem neruske ngabdine bapak neng
kraton?
Ibu :
yo embuh pak, ibu yo ra ngerti, bocah jaman saiki kie wes do angel nek kon
eling karo budhayane dewe.
Bapak :
yowes bu, mugo – mugo wae bejo gelem.
Ibu :
yo mugo- mugo wae pak,(suasana sedikit berubah) niku pak rasukane pun
cemawis.
Bapak :
o yo bu..
Ibu :
(ibu mlebu omah meneh)
Bapak :
(bapak nyusul mlebu)
(bapak ngrokok lan ibu nggawake wedang)
Ibu :
pak, opo ora ono pilahan liyane kanggo bejo, kejobo dadi abdi dalem?.
Bapak :
dudu ono utowo ora anane pilihan bu, nanging abdi dalem kanggo keluargane dewe
kie wes dadi adat turun temurun kang kudu dijogo..
Ibu :
bener pak, ning ibu dewe mikir, bejo kie wes krasan karo gaweane saiki dadi
tukang es dawet.
Bapak :
ning masalahe bu, morale bocah – bocah jaman saiki lah yo butuh kawigaten sing
luweh, supayane tembe mburine biso luwih apek.
Ibu :
lhoo, bapak kie kesupen po yo, bejo kie yo wes tau sekolah, dadi mestine bejo
wes tau nyinau babagan moral kui pak lan piturute.
Bapak :
lha iyo bu, ning mbok delengen dewe tho bocah – bocah jaman saiki mbok o tau
kambun sekolahan ning kelakuane wes ora jawani wes melu – melu karo budaya ne
londho.
Ibu :
(hati-hati dalam bicaranya) lha mituruti bapak, bejo wes melu budaya
sing ora – ora.
Bapak :
(menyahut) lha ora ngono karepe bu, nek umpomo bejo gelem neruske
ngabdine bapak neng kraton paling ora bejo kuwi ora gampang melu – melu karo
budaya manca.
Ibu :
iyo pak, jane ibu kie yo kwatir yen mengko bejo malah lali karo budayane dhewe.
Bapak :
bapak kie mung wegah nek tatanan ning urip kang uwis turun temurun dadi ilang
mergo budayane manca.oh iyo ibu,opo wis ngomong karo bocahe.
Ibu :
uwes pak, ning yo emboh opo de’e gelem, bejo mung semaur nggih mangke bu kulo
pikire rumiyen.
Bapak :
lha saiki bocahe endi bu.
Ibu :
kae pak , bejo isih neng pawon.
Bapak :
undangen bu.
Ibu :
(ibu ngundang bejo) le..ditimbali bapak mu kae, ono sing arep
dingendikake neng kowe.
(bejo metu disusul ibune)
Bapak :
Piye le..opo uwes thok pikirne, bapak lan ibu mu dhuwe kepinginan kowe iso
neruske ngabdine bapak neng kraton dadi abdi dalem.
Bejo :
sampun kula piker pak..naning bejo mboten purun nerasaken bapak ngabdi
dhateng kraton..kula,kita sakmenika sampun gesang wontening budaya colonial,
kamongko jaman soyo maju.
Ibu :
le..ibu mu karo bapakmu kuwi jane duwe kepinginan, supaya kowe biso neruske
bapak ngabdi neng kraton.
Bejo :
nanging bu, abdi dalem mung gedibale raja, kang nyambut dhamele mung dikengken
wira – wiri lan malih..nyuwun sewu bu,jaman saniki sanes gedibal utawi
batur ingkang betahken aming tiyang – tiyang pinter ingkang saged mandiri.
Ibu :
hush..ojo koyo ngono,ora elok mengko kowe kualat lho le !
Bapak :
le..tak kandhani, abdi dalem kuwi dudu gedibale raja, raja sing dadi pemimpin
ora tau mriksani abdi dalem kuwi atasan utowo bawahan nanging abdi dalem kuwi
dadi jejering wong kang ngabdi marang budayane.
Bejo :
ngabdi dhateng budaya ingkang kados pundi pak, nek mng mboten saged ndadoske
bangsa kita langkung maju malih sakmenika ingkang pun betahken ngih para
ilmuwan lan cendikiawan.
Bapak :
ooalah le le…ojo meneh utowo cendikiawan sing mbok sebut mau, sewu wong pinter
neng njobo kono isih ono sing gelem ngabekti dadi abdi dalem.Ning ugo dadi
mangertimu, yen biyen jaman perang seng ndadake negoro iki merdiko yo mergo
labuh labete abdi dalem, para abdi dalem ora wedi mbelani pati kanggo bongso
iki..opo ngono kuwi kowe isih ragu karo sing jenenge abdi dalem.
Bejo :
inggih pak, kulo nggih pun ngertos mung nek bapak tasih ngersake kulo dados
abdi dalem, nyuwun aminges anak – anak kulo mangkeh nedho nopo?ming angsal
mangewu saben wulan..kulo mboten kiyat ngayahi urip sing kados ngonten pak.
Bapak :
le…abdi dalem kuwi ugo duwe kaluarga koyo dene awake dewe ngeneki senadyan upah
seng ditompo abdi dalem kuwi cilek ora njor abdi dalem kuwi ora iso urip,
buktine tekan saiki awake dewe iseh iso kecukupan aminge bejo, koe yo biso
sekolah nganti lulus nganggo duwit limangewu saben wulan lan bapak ugo duwe
kyakinan ono keberkahan seng nggawe roso ayem ing uripe poro abdi dalem.
Bejo :
naning pak..abdi dalem kuwi sak uripe mung dados gedibal..niku mboten saged
kesebut pakaryan.
Bapak :
kowe kog ra dong-dong to le..abdi dalem kuwi dudu sakwijining pakaryan kang
biso ndadekake sugeh nanging ujud ngabekti jiwo lan rogo marang sejembahane
sarto budayane, dudu bondo donya kang digoleki nanging kamulyan batin sarto
kaberkahan ing uripe.
Bejo :
pak..mboten sah dados abdi dalem kulo,,ning dodol dawet niku nggeh saget mulyo.
Bapak :
ning kamulyanmu kuwi ora iso nentremke batin mu sebab kowe ora entok keberkahan
kang luweh.
Bejo :
kulo mboten ngerti dalan pikiran kuno bapak.
Bapak :
dasar uteg monco!
*rampung,
crito iki isih iso ditambahi, manut sutradarane*.
Perijinan dan contak Lumbung Artema

